Agar Pembaca Merasakan Emosi pada Tulisan Kita!
Rasanya suka sebel
ketika kita sudah menulis dengan sepenuh hati tapi ternyata masih ada saja
orang rese yang berkomentar “Feel-nya belum dapet.” JDUAR! atau, “Aku gak bisa
ikut merasakan emosi si tokoh.” Dobel JDUARR! atau “Ceritanya mengenaskan
tapi aku kok gak nangis yak?” Pingsan!
Rasanya pengin
maki-maki seluruh dunia saja. Dan kabar buruknya, tidak ada soundtrackMy
Heart Will Go On yang mengalun di kuping pembaca ketika kita
mengabarkan bahwa tokoh kita meninggal dunia. “Hey, tokohku mati lho! Mati!
Kamu sedih kek!”
Tapi tenang teman, di
situlah tingkat kreativitas seorang penulis sedang diuji. Sekali pun tidak ada
backsound untuk menunjang dramatisasi, kita masih bisa ‘memaksa’ pembaca
merembes mili (baca: menitikkan air mata) ketika kita membuat momen ‘tear
jerking’ di salah satu scene. Kita bisa ‘memecut’ pembaca agar ikutan tersipu
malu ketika si tokoh sedang digoda pria keren. Kita bisa menodongkan pistol di
kepala pembaca agar dia ikut deg-degan ketika kita membuat adegan si tokoh
ketahuan menyimpan bom atom di ransel sekolah misalnya, dst, dsb, dll.
Jadi, apa yang harus
dilakukan seorang penulis?
Sebelum masuk ke
topik, saya akan mengingatkan nasihat klasik; menulislah dengan hati, dan editlah dengan kepala! Itu tidak bisa
disepelekan. Sekali pun ada rambu-rambu untuk menulis dengan hati, tapi kita
juga perlu berhati-hati. Ingat pesan Bang Isa, jangan sampai ketika menulis
kita asyik sendiri sampai lupa bahwa kita akan punya pembaca nantinya. Bagi
beberapa penulis pemula yang berpatokan dengan ‘hati’, mereka bercerita dengan
kejujuran seperti menulis diary. Boleh saja merasa bahwa kisah kita adalah
kisah paling romantis atau mengharu-biru, tapi hey, ingat! Bisa jadi pembaca
justru menganggap kita si drama queen yang mengusung cerita ala sinetron dan
terkesan hiperbola dalam upaya menyampaikan emosi. Maka dari itu, ‘kepala’
tetap dibutuhkan ketika sampai pada proses revisi. Sungguh, dua hal itu
memiliki porsi yang sama pentingnya.
Nah, peraturan dasar
sudah kita kantongi rapat-rapat. Lalu, apa selanjutnya? Oke, mulailah dengan menyusun
plot yang memikat. Apa itu plot? Plot merupakan rangkaian sebab-akibat yang
membentuk cerita. Usahakan menciptakan plot semenarik mungkin.
Kita ambil contoh
dalam cerpen Emak Ingin Naik Haji, digambarkan seorang janda tua, miskin,
begitu ingin pergi haji. Tragisnya, beliau hanya mempunyai seorang anak yang
tidak memiliki pekerjaan tetap. Tentu saja itu sudah dipikirkan betul-betul
oleh bunda Asma Nadia, coba kalau Emak punya anak lebih dari satu, mereka bisa
bahu-membahu mewujudkan impian Emak. Lalu apa yang dilakukan sang anak tunggal
itu? Perjuangan Zein betul-betul membuat pembaca terenyuh, sekaligus meringis
dengan realitas sosial yang ada. Tetangganya tidak perlu berjaga warnet 24 jam
atau berjualan lukisan kaligrafi, tapi setiap tahunnya beliau bisa berangkat ke
tanah suci. Semudah itu. Sementara dia? Sementara Emak?
Menggetarkan!
Peraturan kedua
adalah, diksi! Ya, kita memang tidak punya lagu instrumental untuk
menghipnotis pembaca agar mereka terhanyut dengan cerita. Tapi kita punya yang
namanya diksi atau pilihan kata. Pilihlah kata-kata yang luwes dan memiliki
kesan ‘lebih’.
Perhatikan dua kalimat
berikut:
a. Hati Zein sakit
b. Hati Zein berdesir
perih.
Mana yang memiliki
efek yang lebih ‘dalam’? Kalimat (b) tentu saja. Terlihat sekali Bunda Asma
piawai memainkan emosi pembaca dengan diksi yang tepat, benar?
Dengan dua hal itu
sudah cukup kah untuk membuat pembaca merasakan atmosfir yang kita bangun?
Tentu saja belum. Yang ketiga adalah konflik yang terus menanjak.Usahakan
untuk mengeksplor sungguh-sungguh tingkatan konflik dalam cerita kita. Jangan
sampai pembaca merasa ada yang ‘lowong’ karena mengharapkan klimaks yang lebih
nendang dan bukannya antiklimaks sebelum waktunya. Saatnya imajinasi seorang
penulis mengambil porsi dominan pada sesi ini. Jadi, selamat berpetualang
dengan pikiran-pikiran indah kalian!
Terakhir, guess
what? Yeah, ending yang memukau. Yup, jangan biarkan
pembaca yang sudah termehek-mehek oleh cerita yang kita suguhkan, terpaksa
menutup buku dengan kasar dan mendesah kecewa karena ending yang kurang oke
penggarapannya. Ending yang keren itu seperti apa? Yang unpredictable?
Yang manis? Yang bikin kita geregetan? Atau yang pelan dan tidak terburu-buru?
Itu semua ada di tangan kalian, teman. Saya pribadi menyukai ending yang
membuat saya melongo seketika. Entah karena tidak tertebak atau karena
mengguncangkan mental. Terlebih yang mengandung kedua unsur itu sekaligus.
Ending dari film jepang berjudul Gantz benar-benar membuat saya ber ‘haaah’
panjang dan nyesek selama berhari-hari. Hal yang sama saya rasakan di film Lord
Of The Rings – The Return Of The King, selain membuat saya menangis hebat,
saya juga merasa ‘sakit’ dan termenung selama beberapa hari. Doh!
Ending cerita yang
seperti itu saya jamin, tidak akan mudah dilupakan oleh beberapa orang.
Nah, kalau
langkah-langkah tersebut sudah kita lakukan dan masih saja ada orang yang
dengan tengilnya bilang, “Feel-nya belum dapet!” Langsung saja… gampar! Tidak,
tidak! Tentu saja itu bukan kesalahan pembaca, bukan juga kesalahan penulis.
Kita tidak bisa memukul rata bahwa setiap pembaca harus merasakan duka yang
kita salurkan. Sama halnya kita tidak bisa memaksa selera makanan seseorang.
Membaca merupakan ritual yang bersifat sangat personal. Saya menangis
menyaksikan ending LOTR meski tidak ada tokoh yang meninggal. Sementara saya
justru lempeng-lempeng saja ketika menonton Fly Me To Polaris yang
katanya setiap cewek normal yang menonton pasti bakal mewek-mewek. Bahkan teman
dari teman saya, dia cowok dan dia menangis. Sungguh ironis, memang. Tapi apa
saya bakal rela dibilang punya kelainan? Jangan harap!
Jadi, tidak perlu
patah hati dengan komentar orang yang tidak bisa merasakan luahan perasaan dari
tulisan kalian. Menulislah sebaik mungkin dan hargailah karya kalian. Sungguh,
itu lebih baik dari segala teori di atas. Berilah penghargaan terhadap apa yang
sudah kita lakukan dengan gigih. Sekarang memang inilah kemampuan kita, baru
segini! Tapi bukan tidak mungkin bahwa suatu saat nanti… entah kapan… kita akan
menghasilkan karya yang dari segi kualitas semakin baik dan semakin matang,
kan? Saya sih percaya! Kalian?
-x-
NB: Maaf yang
sebesar-besarnya untuk semua teman yang sudah ngetag karya-nya. Saat ini
benar-benar sedang tidak memungkinkan membaca karya sebanyak itu. Sebagai
gantinya, saya menulis entri ini (sebenarnya request dari Mbak Lilik Saodah).
Baca juga:
Tentang Guru dan Sebuah Kelashttp://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/doc/525987684129794/
source : Grup KBM